2030 Pemerintah Targetkan Hapus Pekerja Anak
Bengkulu, IPKB – Pada 2030, pemerintah berkomitmen mencapai target Sustainable Development Goals atau SDG’s khususnya terkait pembangunan anak. Tak sedikit strategi dan kiat-kiat disusun. Baik tingkat nasional maupun daerah untuk mencapai target yang sudah ditentukan. SDGs merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh para pemimpin dunia, termasuk Indonesia, guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030.
Target yang ingin dicapai diantaranya adalah penghapusan kemiskinan anak, tidak ada lagi anak-anak yang bekerja, kekurangan gizi dan meninggal karena penyakit yang bisa diobati, menciptakan lingkungan yang ramah anak, memenuhi kebutuhan pendidikan anak khususnya pendidikan di usia dini, kata Koordinator Bidang Pengendalian Penduduk (Dalduk) Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bengkulu Drs. Agus Supardi kepada wartawan di kantornya belum lama ini.
” Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, mengacu secara tidak langsung pada “kegiatan ekonomi”. Dimana anak-anak tidak boleh bekerja. Semua anak berusia 5 – 11 tahun yang melakukan kegiatan-ekonomi adalah pekerja anak sehingga perlu dihapuskan “.
Pemerintah dalam program unggulan Three Ends yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak tahun 2015 lalu, yaitu End Violence Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak), End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia), dan End Barriers To Economic Justice (Akhiri Kesenjangan Ekonomi terhadap perempuan), juga telah mencanangkan program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), dalam laman bkkbn.go.id.
Agus mengatakan, BKKBN selaku lembaga yang mengemban amanat UU Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, berkewajiban dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Yang melalui pelaksanaan programnya pembangunan, dan ketahanan keluarga, bersama sejumlah lembaga mitra kerja, katanya.
” Dalam peraturan perundangan perlindungan anak disebutkan bahwa salah satu upaya perlindungan khusus kepada anak adalah perlindungan bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi. Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang diekploitasi secara ekonomi salah satunya dengan memberikan perlindungan kepada pekerja anak berupa pelibatan berbagai perusahaan.
Selain itu keterlibatan serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi. Masalah pekerja anak juga erat hubungannya dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Sebagian besar anak bekerja karena berasal dari keluarga yang tidak mampu/keluarga miskin, ujar Agus.
Masih Agus Supardi, pelibatan anak dalam melakukan pekerjaan ini dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua). ” Anak yang bekerja adalah anak melakukan pekerjaan karena membantu orangtua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu mengerjakan tugas-tugas dirumah, membantu pekerjaan orang tua diladang dan lain-lain. Anak melakukan pekerjaan yang ringan tersebut dapat dikategorikan sebagai proses sosialisasi dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator anak membantu melakukan pekerjaan ringan. Dan anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak.
“Disebut pekerja anak apabila dengan beberapa indikator seperti, anak bekerja setiap hari, anak tereksploitasi, anak bekerja pada waktu yang panjang, dan waktu sekolah terganggu bahkan tidak sekolah “. Dampak pekerjaan terhadap perkembangan sosial anak Pekerja anak yang tidak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan seperti bermain, pergi kesekolah dan bersosialisasi dengan teman sebanyanya, tidak mendapat pendidikan dasar yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan, tidak mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat serta menikmati hidup secara wajar biasanya akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan egois sehingga sering berdampak anak mengalami masalah didalam interaksi / menjalin kerjasama dengan orang lain dan mereka kurang percaya diri atau merasa direndahkan.
Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja, karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam suasana damai, mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologi, intelektual dan sosialnya. Namun pada kenyataannya banyak anak-anak di bawah usia 18 tahun yang telah terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, menjadi pekerja anak antara lain di sektor industri dengan alasan tekanan ekonomi yang dialami orang tuanya ataupun faktor lainnya. Namun anak dapat bekerja kecuali dalam kondisi dan kepentingan tertentu dimana anak boleh bekerja, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.Pekerja anak merupakan suatu istilah menggantikan istilah buruh anak.
Di Bengkulu pekerja anak masih terbilang tinggi. Dimana pada 2017 ada 4,20 persen di perkotaan dan 6,74 persen di perdesaan anak anak usia 10-17 tahun di Provinsi Bengkulu yang bekerja, dan 0.30 persen dan 1,09 persen Pengangguran serta 2,79 persen di perkotaan dan 6,58 persen diperdesaan mengurus rumah tangga. 9,11 persen laki-laki dan 2,72 perempuan penduduk 10 – 17 tahun di Provinsi Bengkulu telah berkerja, diantaranya 0,84 persen penduduk laki-laki dan 0,83 persen penduduk perempuan pengangguran dan yang mengurus rumah tangga 4,39 persen laki-laki dan 6,32 persen penduduk perempuan. (rs)