264 Ribu Lebih Keluarga di Bengkulu Berisiko Berpotensi Stunting
Bengkulu, IPKB – Tahun lalu ( 2021 ) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) menggelar pendataan keluarga atau PK 21 yang berlangsung 1 April – 31 Mei 2021. Hasil pendataan itu pada akhir 2021 baru ini resmi dipublis.
Koordinator Bidang Advokasi dan Penggerakan Informasi ( ADPIN ) Perwakilan BKKBN Provinsi Bengkulu Drs. Zainin melalui Sub Koordinator Bidang Data dan Informasi ( Datin ) Agus Veriansyah Dalimunthe, S. Kom kepada wartawan menyampaikan hasil PK 21 di tahun ini merilis beberapa data. Salah satunya data yang amat terkait dengan kebutuhan mengidentifikasi keluarga berisiko stunting.
Dari PK tersebut merilis sebanyak 516.748 keluarga di Provinsi Bengkulu, terdapat sebanyak 331.537 keluarga sasaran potensi berisiko stunting. Dari jumlah sasaran tersebut sebanyak 264.391 kategori keluarga berisiko stunting yang tersebar di sejumlah daerah kabupaten/kota di Bengkulu, kata Agus Veriansyah di kantornya baru ini.
” Berdasarkan hasil PK 21 yang berpotensi berisiko stunting di Bengkulu mencapai 264.391 keluarga, yang disebabkan kurangnya asupan gizi, dan rendahnya kualitas kesehatan lingkungan “.
Keluarga berpotensi risiko stunting di Kabupaten Bengkulu Selatan 21.706, Rejang Lebong terdapat 36.226 keluarga, Bengkulu Utara sebanyak 42.570 keluarga, Kabupaten Kaur mencapai 17.779, dan di Kabupaten Seluma terdapat keluarga berisiko stunting mencapai 28.144.
Selain itu, juga terdapat di Kabupaten Mukomuko sebanyak 26.465 keluarga, Kabupaten Lebong mencapai 15.292 keluarga, Kabupaten Kepahiang mencapai 18.731, Bengkulu Tengah sebanyak 16.978 keluarga, dan terdapat di Kota Bengkulu 40.500 keluarga, sebut Agus.

Keluarga sasaran intervensi stunting yaitu pasangan usai subur ( PUS ) termasuk PUS hamil, kelompok masyarakat yang mempunyai anak bayi dua tahun ( baduta ), bayi lima tahun ( balita ). Tak hanya itu faktor terjadinya stunting juga disebabkan oleh fasilitas lingkungan yang tidak sehat. Kurangnya sumber air bersih layak minum/konsumsi, masih rendahnya fasiltas jamban layak/sehat, serta kurangnya rumah layak huni bagi keluarga.
Secara terpisah Koodinator Bidang Keluarga Kesejahtera dan Pemberdayaan Keluarga ( KS-PK ) Perwakilan BKKBN Provinsi Bengkulu Weldi Suisno, S.Pd., M.E menyebutkan bahwa stunting adalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama sejak janin dalam kandungan hingga usia 60 bulan atau lima tahun.
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi sensitif yang paling menentukan untuk dapat mengurangi prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1000 Hari Pertama kehidupan (HPK) dari anak balita. Selain itu perlu intrevensi peningkatan kesehatan lingkungan, mulai dari penyediaan air bersih, dan lingkungan penyediaan jamban sehat. dan rumah layak huni.
Menurut Weldi, terhadap hal demikian itu dapat dijawab melalui Perarturan Presiden ( Perpres ) Nomor 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting. Yang menekankan dengan pelaksanaan secara konvergensi lintas sektor. Konvergensi percepatan pencegahan stunting tersebut, intervensi yang dilakukan secara terkoordinir, terpadu, dan bersama-sama mensasar kelompok sasaran prioritas yang tinggal di desa untuk mencegah stunting.
” Stunting itu tidak dapat diobati, namun terhadap hal tersebut hanya dapat dilakukan dengan peningkatan status gizi terhadap penyandangnya. Untuk mencegah terjadinya kurang gizi kronis atau stunting perlu intervensi dari sektor hulu yaitu mengedukasi masyarakat mulai dari kelompok remaja, calon pengantin, pasangan usai subur ( PUS ) hamil, dan kelompok keluarga yang mempunyai baduta dan balita, yang disebut intervensi sensitif. Yang sasarannya adalah keluarga yang berpotensi berisiko stunting, “kata Weldi. ( rs )