Jokowi Sambangi Desa Berpotensi Stunting di NTT

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo di Seo, NTT.

Soe, NTT, IPKB, Bengkulu – Presiden Joko Widodo dalam agenda kerjanya di Provinsi Nusa Tenggara Timur ( NTT) Kamis,24-Maret-2022 direncanakan akan mengunjungi desa miskin dan berpotensi meningkatkan prevalensi stunting di tanah air. Yaitu Desa Kesetnana, Kecamatan Mollo Selatan, Soe, Nusa Tenggara Timur ( NTT ).

Salahsatu warga Desa Kesetnana, Seo, NTT. (photo BKKBN )

Desa Kesetnana menjadi lokasi kunjungan Presiden Joko Widodo karena termasuk desa yang beresiko stunting. Selain warga kesulitan mendapatkan akses air bersih, factor ekonomi dan rendahnya pendidikan menjadi potensi kerawaman terhadap kesehatan. Hampir sebagian besar warga Desa Kesetnana tidak memiliki jamban yang layak.

Kesetnana menjadi gambaran umum dari 278 desa yang ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki prevalensi stunting yang tinggi. Bahkan angka stunting di Kabupaten Timor Tengah Selatan terbilang tinggi. Menurut Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 mencapai 48,3 persen, paling tinggi di Nusa Tenggara Timur bahkan di Indonesia sekalipun, kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) RI Hasto Wardoyo melalui pres rilis humas BKKBN, Rabu, 23/3.

Dipilihnya Timor Tengah Selatan pada khususnya dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya dalam kunjungan Presiden Joko Widodo kali ini memperlihatkan “perhatian penuh” untuk penanganan persoalan angka stunting yang tinggi. Berdasarkan data SSGI 2021, NTT masih memiliki 15 kabupaten berkategori “merah”. Pengkategorian status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.

Ke-15 kabupatentersebutadalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, KabupatenKupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. Bersama Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara juga memilikiprevalensidiatas 46 persen.

Sementara sisanya, tujuh  kabupaten dan kota berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diantaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupangserta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.

Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatusbiru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen, kata Hasto.

Dikatakannya, BKKBN yang ditunjuk Ketua Pelaksana Percepatan Penurunan Stunting berdasarkan Perpres Nomor 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, membutuhkan kolaborasi dengan semua pihak. Demikian pula halnya Kabupaten Timor Tengah Selatan tidak bisa “berjuang” sendiri untuk mengatasi persoalan stunting.

“Sebagai salah satu unsurepentaheliks dalam wujud kovergensi percepatan penurunan stunting, mitra kerja memiliki peran dan kontribusi bersama pemerintah. Timor Tengah dan NTT sengaja menjadi titik tumpu kunjungan Presiden Joko Widodo mengingat NTT merupakan provinsi prioritas penanganan stunting dengan prevalensi 37,8 persen di tahun 2021, tertinggi dariangka rata-rata prevalensi stunting semua provinsi di tanah air yang mencapai 24,4 persen,” jelas Kepala BKKBN.

Menurut Hasto Wardoyo, persoalan tingginya stunting di di NTT bukan hanya persoalan kesehatan dan kekurangan gizi tetapi juga karena kesulitan mendapatkan akses fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan serta pola asuh yang salah turut menyumbang tingginya angka prevalensi stunting. Langkah kongkrit yang diperlukan untuk mempercepat penurunan angka stunting adalah pelibatan mitra kerja untuk memperluas jangkauan intervensi sesuai dengan kebutuhan sasaran dan potensi yang dimiliki mitra kerja.

Dalam penanganan stunting di wilayah timur Indonesia itu, BKKBN berkolaborasi tidak hanya instansi pemerintah. Kali ini, terdapat lembaga swasta ikut ambil bagian.Yayasan Seribu Cita Bangsa (1000 Days Fund) yang sejak 2018 meluncurkan program pencegahan stunting melalui intervensi di tingkat desa menggunakan alat edukasi yang inovatif dan mudah disebar seperti poster pintar serta selimut cerdas agar mudah dipahami warga.

Dengan dukungan donor seperti dari Yayasan IshkTolaram, 1000 Days Fund menyasar desa-desa terpencil di NTT termasuk di Timor Tengah Selatan. “Ketika pertama kali kami dating ke desa tempat kami melaksanakan program untuk pertama kalinya, sebagian besar masyarakat tidak mengenal apai tu stunting, apakaitannya dengan 1000 Hari Pertama Kehidupan dan bagaimana caranya mengoptimalkan pertumbuhan anak serta mencegah mereka dari stunting.

Program pertama kami menunjukan perubahan perilaku dan kebiasaan orangtua dan pengasuh yang signifikan. Intervensi dalam bentu kinformasi dan pengetahuan mendorong perubahan perilaku yang berkelanjutan,” jelas Jessica Arawinda, Ketua Yayasan Seribu Cita Bangsa. 1000 Days Fund bahkan berinisiatif mengajukan anggaran dana desa yang lebih besa runtuk berbagai kebutuhan ibu dan anak serta kebutuhan posyandu.

“Kami ingin pengetahuan dan kesadaran ini kemudian menghasilkan efek domino yang mendorong perubahan-perubahan lain yang lebih pro terhadap perempuan dan anak di desa-desa tempat kami melakukan program,” tambah Jessica Arawinda. Tanoto Fundation yang juga terlibat aktif dalam penanganan stunting di Timor Tengah Selatan, mengakui kerjasama kolaboratif dengan BKKBN sangat strategis karena mengatasi persoalan keterbelakangan pendidikan dari sector hulu.

“Jika masalah stunting bias kita atasi dari awal maka kami percaya tingkat pendidikan masyarakat juga akan meningkat. Tanoto sangat peduli dengan penguatan Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang menjadi garda depan BKKBN dalam upaya akselerasi percepatan penurunan stunting dan komunikasi perubahan perilaku di masyarakat,”ungkap ECED Adviser Tanoto Foundation Widodo Suhartoyo.

Selain 1000 Days Fund danTanoto Foundation, Nestle, DompetDhuafa, Rumah Zakat, Danone, Dexa Grup serta Bulog berpartisipasi aktif dalam partisipasi “bareng” BKKBN di Timor Tengah Selatan. BKKBN bersama para mitra kerja merasa optimis, target penurunan prevalensi stunting dari 48,3 persen di 2021 lalu menurun menjadi 43,01 persen di akhir 2022 serta terus melandai di angka prevalensi 36,22 persendi 2023 dan kemudian di 2024 bisamenuju di angka 29,35 persen bisa tercapai, demikian Hasto. (rls-rs)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *