Penanganan Stunting Perlu Terpadu Lintas Sektor
Bengkulu, IPKB – Mendasari amanat Presiden RI Joko Widodo pada 25 Januari 2021 lalu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) sebagai ketua pelaksana percepatan dan penurunan stunting. Upaya percepatan penurunan prevalensi stunting di tanah air perlu dilakukan secara terpadu lintas sektor.
Khususnya BKKBN, dalam pelaksanaan penangananan stunting harus dilakukan oleh sejumlah bidang kerja di lingkungan BKKBN. Sehingga stunting di Provinsi Bengkulu dapat teratasi menjadi sebesar 14 persen pada 2024, kata Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bengkulu Ir. Rusman Efendi., MM mengawali sambutannya pada upacara peringatan Hari Keluarga Nasional ( Harganas ) ke 28 Tahun 2021 di halaman kantor BKKBN Bengkulu, Senin, 21/6.

Dalam sambutan terulis peringatan harganas, ia menyebutkan, menunjukkan bahwa penurunan prevalensi stunting balita di tingkat nasional hanya sebesar 6,4 persen selama periode 5 tahun dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018) Sedangkan untuk balita normal terjadi peningkatan dari 48,6 persen (2013) menjadi 57,8 persen (2018). Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Kamboja.
Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita)
akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya, sebutnya.
Balita/Baduta ( Bayi dibawah usia dua tahun ) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal,
menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.
Dalam pencegahan stunting perlu dititikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi yang langsung maupun tidak
langsung. Penyebab langsung mencakup masalah kurangnya asupan gizi dan penyakit infeksi. Sementara, penyebab tidak langsung mencakup ketahanan pangan (akses pangan bergizi), lingkungan sosial ( pemberian makanan bayi dan anak, kebersihan, pendidikan, dan tempat kerja), lingkungan kesehatan (akses pelayanan preventif dan kuratif), dan lingkungan pemukiman (akses air bersih, air minum, dan sarana sanitasi).
Keempat faktor tidak langsung tersebut mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Intervensi terhadap
keempat faktor penyebab tidak langsung diharapkan dapat mencegah masalah gizi. Dalam penanganan stunting, keluarga
merupakan komponen utama yang sangat berperan dalam pencegahan maupun penanggulangan nya.
Hal tersebut di sebabkan karena masalah gizi , sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup keluarga, yaitu praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan dan Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga untuk mengkonsumsi makanan bergizi, ujar Rusman dihadapan peserta upacara harganas.
Ia menambahkan, stunting di Bengkulu pada 2018 sebesar 27,98 persen yang tersebar di sejumlah daerah kabupaten/kota dengan kategori tubuh sangat pendek sebesar 9,78 persen, dan tubuh pendek 18,02 persen. Terhadap hal itu pemerintah menetapkan empat kabupaten di Bengkulu sebagai lokasi fokus ( lokus ) percepatan penurunan stunting.
Kabupaten Bengkulu Selatan dengan 33,73 persen, Bengkulu Utara 26,81 persen, Kabupaten Kaur sebesar 34, 26 persen, dan Kabupaten Seluma 35,91 persen ( Riskesdas 2018 ). Dengan adanya aksi secara terintegraasi lintas sektor maka diyakini permasalahan stunting dapat diatasi sehingga tumbuh generasi yang sehat, cerdas dan berkualitas, demikian Rusman. ( rs )