PERLINDUNGAN KEPADA PEKERJA ANAK

Oleh : Drs. Agus Supardi (Kepala Bidang Dalduk Perwakilan BKKBN Provinsi Bengkulu)

Pada tahun 2030, pemerintah berkomitmen mencapai target Sustainable Development Goals atau SDG’s khususnya terkait pembangunan anak. Bermacam strategi di tingkat nasional maupun daerah telah disusun untuk mencapai target yang sudah ditentukan.

Target yang ingin dicapai diantaranya adalah penghapusan kemiskinan anak; tidak ada lagi anak-anak yang bekerja, kekurangan gizi dan meninggal karena penyakit yang bisa diobati; menciptakan lingkungan yang ramah terhadap anak; memenuhi kebutuhan pendidikan anak khususnya pendidikan di usia dini; dan target lainnya.

Pemerintah dalam program unggulan Three Ends yang digagas oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak tahun 2015 lalu, yaitu End Violence Against Women and Children (Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak); End Human Trafficking (Akhiri Perdagangan Manusia), dan End Barriers To Economic Justice (Akhiri Kesenjangan Ekonomi terhadap perempuan), juga telah mencanangkan program Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).

Dalam peraturan perundangan perlindungan anak disebutkan bahwa salah satu upaya perlindungan khusus kepada anak adalah perlindungan bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi. Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak yang diekploitasi secara ekonomi salah satunya dengan memberikan perlindungan kepada pekerja anak berupa pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi. Masalah pekerja anak juga erat hubungannya dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Sebagian besar anak bekerja karena berasal dari keluarga yang tidak mampu/keluarga miskin.

Pelibatan anak dalam melakukan pekerjaan ini dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok :

  1. Anak yang bekerja

Anak yang bekerja adalah anak melakukan pekerjaan karena membantu orangtua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu mengerjakan tugas-tugas dirumah, membantu pekerjaan orang tua diladang dan lain-lain. Anak melakukan  pekerjaan yang ringan tersebut dapat dikategorikan sebagai proses sosialisasi dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator anak membantu melakukan pekerjaan ringan adalah :

  1. Anak membantu orangtua untuk melakukan pekerjaan ringan
  1. Ada unsur pendidikan/pelatihan
  2. Anak tetap sekolah
  3. Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif pendek.
  4. Terjaga keselamatan dan kesehatannya
  5. Pekerja anak

Anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja anak apabila memenuhi  indikator antara lain :

  1. Anak bekerja setiap hari.
  2. Anak tereksploitasi.
  3. nak bekerja pada waktu yang panjang.
  4. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.

Dampak pekerjaan  terhadap  perkembangan sosial anak Pekerja anak yang tidak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan seperti bermain, pergi kesekolah dan bersosialisasi dengan teman sebanyanya, tidak mendapat pendidikan dasar yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kehidupan, tidak mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan orang lain dan ikut berpartisipasi aktif di tengah masyarakat serta menikmati hidup secara wajar biasanya akan tumbuh menjadi anak yang pasif dan egois sehingga sering berdampak anak  mengalami  masalah didalam interaksi / menjalin kerjasama dengan orang lain dan mereka  kurang percaya diri atau  merasa direndahkan.

Pada tahun 2017 ada 4,20 persen di perkotaan dan 6,74 persen di perdesaan  anak anak usia 10-17 tahun di Provinsi Bengkulu yang bekerja, dan 0.30 persen dan 1,09 persen Pengangguran serta 2,79 persen di perkotaan dan 6,58 persen diperdesaan mengurus rumah tangga. 9,11 persen laki-laki dan 2,72 perempuan penduduk 10 – 17 tahun di Provinsi Bengkulu telah berkerja, diantaranya 0,84 persen penduduk laki-laki dan 0,83 persen penduduk perempuan pengangguran dan yang mengurus rumah tangga 4,39 persen laki-laki dan 6,32 persen penduduk perempuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rata-rata penduduk 10 – 17 tahun yang bekerja diperkotaan 28,70 bekerja di formal dan 30,39 tingkat perdesaan, sedangkan 100 persen baik perkotaan dan perdesaan bekerja informal.

Penduduk Usia 10 – 17 tahun yang telah bekerja di perkotaan tertinggi yang tidak tamat SD yaitu 31,77 persen dibandingkan penduduk perdesaan 16,31 persen, untuk tingkat pendidikan tamat SD penduduk perkotaan lebih rendah 17,07 persen dibandingkan perdesaan 37,20 persen, tamat SLTP 42,81 persen perkotaan dan perdesaan 41,77 persen dan tamat SMA 8,34 persen penduduk perkotaan bekerja dan 4,73 persen tingkat perdesaan.

Untuk jenis kelamin laki-laki tertinggi 20,74 persen  yang penduduk usia 10 – 17 tahun yang telah bekerja dibandingkan penduduk perempuan 16,86 persen, yang tamat SD. Penduduk Laki-laki tamat SD yang bekerja 31,56 persen lebih rendah dibandingkan penduduk perempuan 36,03 persen, untuk tamat SLTP penduduk laki-laki 42,98 persen tertinggi dibandingkan perempuan yaitu 36,75 persen dan tamat SMA laki-laki 4,72 persen lebih rendah dibandingkan dengan perempuan 8,36 persen yang bekerja.

 

 

Kesimpulan dan Saran

  1. Anak-anak keluarga miskin yang berasal dari perdesaan dan pendidian rendah mengambil keputusan untuk bekerja dengan berbagai alasan
  2. Pekerja anak lebih banyak diperkerja informal dan diperdesaan dan rata-rata jam kerja kurang dari 30 jam perminggu, termasuk pekerja rentan.
  3. Rata-rata perempuan yang bekerja dan masih sekolah di perdesaan lebih tingggi dibandingkan dengan penduduk penduduk laki-laki di perkotaan
  4. Keluarga pekerja anak mengetahui anaknya bekerja dan mereka membiarkan,

 

Saran

 

  1.  Memberikan Edukasi pada masyarakat terutama pada keluarga miskin untuk memahami kewajiban anak sekolah..
  2. Mendorong pemerintah daerah baik Provinsi Kabupaten/Kota agar memberikan anggaran pendidikan pada anak yang putus sekolah baik perdesaan maupun perkotaan untuk melakukan pelatihan tenaga kerja.
  3. Memperluas sekolah Kejuruan disesuaikan dengan kearifatan lokal
  4. Melakukan kerja sama dengan perusahaan terutama dari luar negeri maupun dalam negeri dengan system magang dan meningkatkan pengetahuan.
  5.  Memperluas pemberian Kartu Indoensia Pintar khususnya wilayah perdesaan agar usia anak kewajiban hanya sekolah.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *