Stunting Dapat Menghambat Ekonomi Bangsa

Ir. Rusman Efendi., MM Kepala Pwk BKKBN Prov. Bengkulu.

Bengkulu, IPKB – Wajar kiranya pemerintah gencar menggaungkan stunting salah satu permasalahan kependudukan di tanah air. Pasalnya, dampak dari stunting selain mewariskan kemiskinan antar generasi, juga yang paling mencemaskan dapat menghambat pertumbuhan perekonomian sebuah bangsa.

Pengalaman dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11 persen GDP (Gross Domestic Products). Serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi.

Poto ilustrasi stunting

Stunting atau sering disebut kerdil alias pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita)
akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan. Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badannya berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurnya.

Mendasari hal tersebut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) melalui amanat UU Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mengemban tugas sebagai leading sektor penanganan penurunan prevalensi stunting di tanah air.

” Dan itu telah ditegaskan oleh Bapak Presiden Joko Widado pada Januari lalu, dimana BKKBN ditunjuk langsung sebagai penanggung jawab dalam penurunan stunting, tentu hal itu dilakukan dengan sinergitas lintas sektor tehnis, ” kata Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bengkulu Ir. Rusman Efendi., MM membacakan sambutan tertulis apel harganas di Bengkulu, Senin, 24/6.

Balita/Baduta ( Bayi dibawah usia dua tahun ) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan.

Saat ini, yang terjadi di Indonesia dihadapkan pada permasalahan data hasil Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa penurunan prevalensi stunting Balita di tingkat nasional hanya sebesar 6,4 persen selama periode 5 tahun, yaitu dari 37,2 persen (2013) menjadi 30,8 persen (2018). Sedangkan untuk balita normal terjadi peningkatan dari 48,6 persen (2013) menjadi 57,8 persen (2018). Indonesia tercatat sebagai salah satu dari 17 negara yang mengalami beban ganda gizi, baik kelebihan maupun kekurangan gizi. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, prevalensi stunting di Indonesia merupakan tertinggi kedua, setelah Kamboja.

Di Bengkulu, prevalensi status gizi pada anak umur 0-59 bulan ( Balita ) dengan kondisi tinggi badan sangat pendek sebesar 9, 78 persen dan pendek 18,02 persen, sehingga mencatat angka stunting di daerah itu sebesar 27,98 persen ( Riskesdas 2018 ).

Terdapat di Kabupaten Bengkulu Selatan 33, 73 persen, Kabupaten Bengkulu Utara sebesar 26,81 persen, Kabupaten Seluma sebesar 36, 91 persen, dan Kabupaten Kaur 34, 26 persen, kata Rusman.

Potret kependudukan tersebut menjadikan empat daerah kabupaten itu ditetapkan sebagai lokasi fokus penanganan stunting. Sehingga dapat menekan hingga 14 persen pada 2024 mendatang, akhiri Rusman. ( rs )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *